Menonton. Semua orang dengan gampangnya melihat gambar bergerak, bersuara, dan tanpa sadar otaknya berjalan sesuai alur cerita dari informasi tontonan itu. Urutan pecahan situasi yang dirangkai menarik dari satu cuplikan beralih-alih seterusnya. Tidak sadar waktu berjalan begitu cepat, dan tidak terasa konsumsi cerita hanya berbekas di alam bawah sadar kita sehari-hari. Efek darinya bermacam-macam, dan merangsang banyak kimia mental dan fisik seseorang. Entah senang, sedih, cinta, dan nafsu, maupun tawa serta marah. Namun kebiasaan ini tidak selalu membuahkan nilai negatif, meskipun sisi konsumtif dari ciri aktifitasnya dominan untuk tidak menghasilkan apa-apa. Orang produktif mengambil makna dari apa yang mereka lihat dan pahami atas aktifitas menonton tersebut. Mereka jadikan sumber inspirasi membuat sesuatu. Membangun karya yang ‘Maha Brata’, menambahkan energi untuk gejolak inovasi tanpa batas. Di sinilah yang baik kita ambil strateginya. Bukan konsumsi yang konsumtif.
Lain cerita dengan membaca, kita mengonsumsi tulisan kata-kata dari sang pencipta karya dengan aktifitas seribu syaraf mendekripsi bahasa dan menyusun logika oleh otak dalam kepala. Mengimajinasikan, membangun situasi cerita yang diceritakan oleh tulisan kata per kata. Kita juga membanding-bandingkan sudut pandang, konteks, dan ideologi serta ide-ide baru terhadap pandangan yang kita miliki saat itu juga, bahkan dengan segala ilmu, informasi yang ada pada otak.
Sebut saja dengan apa yang orang ucapkan tentang membaca. Membaca itu bagus. Membaca itu menambah wawasan. Menambah juga membesarkan imajinasi. Membaca menabung ilmu. Menyambung ilmu. Membaca membentuk manusia yang kritis dan cerdas. Aktifitas membaca juga konsumtif, tapi banyak orang masih sebagian besar berpendapat itu sesuatu yang lebih baik dan meningkatkan produktifitas dibandingkan menonton. Fiksi, non-fiksi, sejarah, biografi, sains dan teknologi, seni, filosofi, agama, fotografi, cerita anak, berita, bahasa, logika, sebut semuanya. Membaca selalu memiliki tempat dalam komunitas seluruh dunia, dan simbolnya banyak dikaitkan dengan perpustakaan. Seberapa banyak yang harus dibaca? Apa saja? Kita semua memiliki jawabannya masing-masing.
Selanjutnya adalah menulis. Banyak orang menganggap enteng karena bagi mereka, sebuah aktifitas ukiran-ukiran kata, kalimat, paragraf hingga menjadi karya tulis dianggap hanyalah loncatan semantik yang tertatih-tatih keluar ketika otaknya berbicara dan diterjemahkan oleh jari-jari tangan yang mengetik tuts komputer QWERTY menjadi tulisan abadi. Namun jika anda bandingkan tulisan panjang yang enteng, ringan, dan asal-asalan dengan tulisan yang tidak begitu panjang namun padat, lugas, cerdas, humoris, dan bernuansa menggelitik, tentu saja kualitas menjadi pencetak skor utama seseorang menilai sebuah tulisan. Membaca sebuah tulisan yang baik berkualitas sangatlah berbeda dengan proses membuat tulisan yang baik dan berkualitas. Perkara ‘Menulis’ perlu intuisi, spontanitas, seni, logika, revisi atau edit berulang sampai menjadi hasil maha karya. Menulis merupakan aktifitas melatih otak untuk prima dalam menyampaikan pendapat, ide, cerita, kronologis atau apa pun isi dari sebuah makna penyampaian berantai. Sebagian orang merasa menulis hampir mirip dengan berpidato atau bercerita yang terstruktur dalam penyampaian.
Berikutnya tentang berbicara. Kelihatan sederhana. Namun bicara adalah teka-teki dari ranjau syaraf-syaraf komunikasi utama ketika manusia menerjemahkan bahasa. Entah bayi merengek anda sebut apa. Namun itu juga bicara. Bicara santai, santun, formal, keraton, pidato kepala negara, ceramah ustadz, khutbah Jumat, apa saja yang keluar dari mulut seseorang secara vokal adalah bicara. Pertanyaannya adalah bicara apa yang layaknya anda tuturkan, kita tuturkan sehari-hari sesama? Positifkah negatifkah? Dan bagaimana dengan bicara hati? Bicara dengan diri sendiri yang kadang kita akhiri dengan tanda koma, tanda titik, tanda seru, atau pun tanda tanya. Bicara yang menuntut pemikiran mendalam terhadap topik pertanyaan kehidupan. Selalu dibawa-bawa, ditanya-tanya, dan dengan sendiri pula berusaha dijawab hingga menemukan misterinya. Bicara memang harusnya hati-hati. Karena porsinya menyangkut dengan seberapa banyak kita membagikan bagian antara bicara dan berhenti untuk mendengarkan sekeliling kita.
Mendengar. Terakhir aku sebut mendengar karena pendengaran menjadikan kita peka terhadap lingkungan terdekat pada saat itu. Makin kita terdiam bisu dan sunyi, semakin tinggi sensitifitas kita dalam mendengar, mencerna pendengaran, mengkonsumsi vokal, nada-nada, bahasa, gerak-gerik, kalimat dan apa pun yang masuk dalam telinga pendengaran pada indra. Mendengarkan sesuatu dapat menjadikan intelektual kita bertambah seiring waktu, seiring dengan jalannya jeda. Jangan remehkan jeda ini, karena hidup kita menjadi makin berarti ketika kita saling mendengarkan jeda-jeda baja dengan hati satu sama lain. Mendengarkan pasangan hidup kita, saudara, dan siapa pun agar kita mampu berbicara dan berkomunikasi secara utuh tanpa salah sambung.
Mendengar, berbicara, menulis, membaca, dan menonton. Selagi kita mampu melakukan kelima hal ini. Tak ada alasan untuk tidak melakukannya untuk kebaikan. Tambah lagi membuat aktifitas harian itu terhitung untuk menambah nilai kehidupan kita, orang lain, bahkan dunia ke dalam perubahan positif dan signifikan pada masa ini. Bukan anjuran guru berkata, namun kata hati ini mengajak bahwa semua layak untuk kita lakukan demi menunjang peradaban manusia ke depan.